Wednesday 18 March 2009

Indonesia Kehilangan Bea Masuk US$ 1,9 Miliar

Survei yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) menunjukkan, setiap tahun Indonesia kehilangan penerimaan bea masuk sebesar US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 17 triliun. Hal itu terjadi karena adanya deviasi yang cukup besar dari laporan yang dibuat eksportir dari dan ke Indonesia.
“Tingginya bea masuk yang dikenakan di Indonesia dibandingkan bea masuk di negara lain merupakan pemicu utama pengusaha enggan melaporkan nilai barang ekspor dan impor yang sebenarnya. Akibatnya, kita mengalami kerugian US$ 1,9 miliar,” ujar M Chatib Basri, pengamat ekonomi kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (16/2).
Chatib menjelaskan, nilai kehilangan bea masuk sebesar US$ 1,9 miliar itu hampir sama, bahkan lebih besar dari jumlah penerimaan negara dari perdagangan internasional setiap tahun. (lihat tabel). Penerimaan negara dari perdagangan internasional terdiri atas bea masuk dan pajak pungutan ekspor.
Mayoritas importir, kata Chatib, melaporkan nilai barang lebih rendah dari nilai yang sebenarnya. Demikian juga sebaliknya, eksportir melaporkan nilai barang yang dieskpor ke luar negeri lebih rendah dari nilai sebenarnya. Menurut Chatib, LPEM-UI meneliti nasabah ini pada seluruh negara tujuan ekspor Indonesia dan negara asal importir.
“Coba bandingkan (data) nilai ekspor yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan (data dari) pemerintah Singapura. Angkanya pasti berbeda dan devisanya cukup besar. Itu membuktikan, eksportir telah memanipulasi laporan sebenarnya,” kata Chatib.
Di tempat terpisah, Beni Sindhunata, direktur eksekutif Investment and Banking Research Agency (INBRA) menjelaskan, INBRA pernah melakukan riset serupa di Singapura, Hong Kong, dan Malaysia. Hasil riset menunjukkan, angka deviasi terbesar terjadi pada perdagangan internasional dengan Sngapura. Modus para pengusaha adalah memanfaatkan pencatatan under invoice dan penyeludupan.
Chatib juga menyoroti masalah manupulasi ini, terutama kayu ilegal dan bahan bakar minyak (BBM) serta mobil mewah. Itu disebabkan harga kayu ilegal dan BBM di luar negeri jauh lebih mahal dibandingkan di Indonesia. Sedangkan penyeludupan mobil mewah karena bea masuk mobil mewah amat tinggi. Pengusaha Singapura tidak mau menyelundupkan mobil mewah karena bea masuknya rendah.
Menurut Chatib, salah satu upaya untuk mengatasi ketidakjujuran pengusaha itu adalah menurunkan tarif bea masuk serendah mungkin. Dengan begitu, mereka akan melaporkan barang yang sebenarnya. “Tapi kalau kita mengusulkan tarif bea masuk diturunkan, kita dituduh penganut paham neoliberalisme. Padahal, tujuannya untuk menguntungkan Indonesia. Sebab suka atau tidak suka, liberalisasi perdagangan harus diterapkan,” katanya. (*)
***
Investor Daily, 17 Februari 2005 (Press Release)

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP