Tuesday 8 January 2008

Pedagang Kecil, wasit dalam perang tepung terigu (Press Release)

Oleh Beni Sindhunata
Setelah memperhatikan perdebatan tentang bea masuk anti dumping (BMAD) untuk tepung terigu yang sudah bergulir 2 tahun lebih dan semakin membiaskan pokok persoalan sehingga memperbesar biaya lobby, maka INBRA (Investment and Banking Research Agency) sebagai lembaga riset mengenai investasi dan perbankan menyampaikan pendapat dan saran khususnya bagi pemerintah sebagai regulator dan pengawas dari pertarungan bisnis antar pengusaha yang ujung-ujungnya pasti mengatasnamakan kepentingan perusahaan kecil menengah.
Pendekatan dan thema utama siaran pers ini didasarkan beberapa fakta dan kondisi yang ditelusuri oleh INBRA, diantaranya berdasarkan :
hasil pemantauan langsung dan survey terhadap pengusaha atau pedagang kecil selaku konsumen tepung terigu
pemantauan atas konstelasi persaingan global mulai dari persaingan antar produsen, eksportir, importer dan fluktuasi harga internasional dan perkembangan musim.
konstelasi persaingan bisnis domestic khususnya antara importer tepung terigu, produsen tepung terigu dan produsen makanan menengah atas (manufaktur)
sikap pemerintah yang tidak tegas dalam mengambil kebijakan

Berdasarkan perkembangan dan fakta selama ini maka INBRA menarik
beberapa fakta dan kondisi tentang anatomi bisnis tepung terigu yang semakin kusut karena tarik ulur justru pasca deregulasi.
Dilihat dari aspek deregulasi dan persaingan bebas (demi dan atas nama WTO) maka industri tepung terigu nasional termasuk yang sudah di deregulasi dan diserahkan ke pasar bebas sejak 1999. Jadi tidak ada lagi tata niaga karena setiap orang bebas mengimpor mulai dari konglomerat, importer tanpa alamat jelas sampai koperasi dan usaha kecil sejauh dia memiliki dana dan kemampuan.
Dibebaskannya kran impor maka tepung terigu impor membanjir sehingga setahun pasca deregulasi produk impor menguasai 15% pasar nasional sebesar 0,4 juta ton dari 3 juta ton lebih konsumsi nasional. Tahun 2001 porsinya menurun jadi 8% senilai 0,2 juta ton sementara konsumsi tetap 3 juta ton lebih. Ini sebenarnya sebuah kondisi yang tidak perlu dirisaukan oleh semua pihak (produsen tepung terigu, industri makanan dan biscuit atau importer) karena pemenang di pasar bebas ini akan ditentukan oleh perilaku “konsumen bebas” yakni para pengguna tepung terigu mulai dari industri makanan dan biskuit, mie basah, mie instant, kue basah sampai ke pedagang gorengan dan martabak.
Survey INBRA pada medio 2002 tentang anatomi konsumsi bahan baku pedagang martabak dan mie ayam Bangka menemukan bahwa harga bukan menjadi factor utama dalam bisnis mereka dengan daur hidup 6 jam per hari. Terpenting bagi mereka adalah mutu tepung terigu sehingga menjamin hasil adonannya disaat subuh (adonan mie basah) dan sore hari (adonan martabak) berhasil dan sesuai standar dan selera masing-masing seperti selama ini. Jika adonan gagal (tidak sesuai standarnya) mereka akan kehilangan penghasilan hari itu. Murah bukan jaminan mutu dan belum tentu cocok untuk produk mereka. Karena itu mereka tidak berani mencoba beralih menggunakan tepung terigu merk lain apalagi merk impor (meski harganya relative murah). Menurut Aptindo, kelompok pedagang kecil ini menyerap dua pertiga produksi tepung terigu nasional.
Tepung terigu impor lebih cocok dipergunakan untuk industri yang memproduksi makanan kering, mie instant, mie kering atau biscuit dengan pendekatan manufaktur yang dikomposisikan dengan bahan derivative lainnya. Sehingga industri skala manufaktur yang paling berpotensi mengkonsumsi tepung terigu impor, dimana beberapa produsen biscuit skala menengah atas juga mengimpor langsung guna menjamin ketersediaan bahan baku mereka. Kelompok ini menyerap sepertiga tepung terigu nasional.
Karena bahan baku tepung terigu adalah gandum yang harus diimpor sehingga sangat tergantung pada mekanisme harga pasar internasional, fluktuasi nilai kurs, perobahan musim dan siklus panen di negara-negara produsen utama. Akibatnya harga tepung terigu ibarat harga BBM yang sekarang justru dibiarkan berfluktuasi sesuai harga internasional. Sehingga tidak ada mekanisme standar untuk menurun harga tepung terigu di pasar domestik, kecuali pemerintah menetapkan floor price dengan konsekwensi subsidi. Sebuah kebijakan konvensional yang bukan zamannya lagi untuk diperbicangkan apalagi diterapkan.
Kebijakan pemerintah yang belum secara tegas memutuskan dan menjalankan bea masuk anti dumping (BMAD) ataupun sebaliknya menolak BMAD menjadi lahan subur bagi para pelobby bisnis dan politik yang kian menambah rumit, yang sebenarnya sangat sederhana.

Kesimpulan dan Saran
Pemerintah perlu segera menetapkan kebijakan yang tegas dan jelas apakah sepakat menetapkan BMAD 10%, 5%, atau hanya 0%. Ini perlu kesepakatan antara Deperindag dengan Departemen Keuangan. Penetapan ini tentu sudah memikirkan pelbagai konsekwensi mulai dari daya saing dan eksistensi tepung dalam negeri, pilihan konsumsi yang seluas-luasnya kepada konsumen dan persaingan murni. Inilah konsekwensi lain dari persaingan bebas berbaju WTO dimana kita lebih berpotensi menjadi korban dan bukan pemenang.
Supaya adil bagi para importer maka BMAD hanya diberlakukan kepada produsen tepung terigu yang terbukti melakukan dumping (hasil kerjasama dengan importer nasional dan eksportir asing). Bagi yang melakukan fair trade tidak layak diberlakukan sanksi.
Industri berskala Rp. 6 trilyun lebih yang sudah di deregulasi dan bebas ini sebaiknya dibiarkan bebas sesuai mekanisme pasar dengan pelbagai konsekwensinya. Para importer dan calon importir umum domestik apalagi kelas rent seeker akan mundur sendiri dan hilang dari peredaran jika hanya sanggup menjual produk kelas dua bermutu rendah. Ringkas kata tidak ada lagi tataniaga dalam industri ini dan kita akan mundur dua decade jika mencoba menerapkan tata niaga dalam bentuk tariff maupun non tariff.
Pemenang dari perang tepung terigu antara importer domestic yang bermitra dengan eksportir asing melawan produsen tepung terigu nasional adalah pihak yang mampu menjual produk terbaik, bermutu dan harga bersaing kepada konsumen bebas (sebagai the grass root) yakni para pedagang beroutlet gerobak yang jumlah puluhan ribu.
Dengan posisi maka pedagang kecil beroutlet gerobak (pedagang martabak, mie basah, gorengan, bakso, kue basah, etc) ibarat wasit dan pemerintah sebagai hakim garis. (*). NERACA, Oktober 2002 (Press Release)

1 comment:

Gita P Djausal 3 May 2008 at 22:45  

saya terkejut. ternyata kasus dumping terigu mencapai waktu 2 tahun. karena dalam penggunaan kata "tepung terigu" dan "tepung gandum" sendiri menimbulkan keganjalan bagi saya.

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP